Senin, 02 Juli 2012


Definisi
Science-symbol-13a.svg
Istilah sibernetika berasal dari Yunani kuno κυβερνήτης (kybernētēs, jurumudi, gubernur, pilot, atau kemudi - akar yang sama dengan pemerintah). Sibernetika adalah bidang studi yang sangat luas, tetapi tujuan penting dari sibernetika adalah untuk memahami dan menentukan fungsi dan proses dari sistem yang memiliki tujuan dan yang berpartisipasi dalam lingkaran rantai sebab akibat yang bergerak dari aksi/tindakan menuju ke penginderaan lalu membandingkan dengan tujuan yang diinginkan, dan kembali lagi kepada tindakan. Mempelajari sibernetika menyediakan sarana untuk memeriksa desain dan fungsi dari sistem apapun, termasuk sistem sosial seperti manajemen bisnis dan pembelajaran organisasi, termasuk tujuan untuk membuat mereka menjadi lebih efisien dan efektif.
Sibernetika didefinisikan oleh Norbert Wiener, dalam bukunya yang berjudul sama, sebagai suatu studi terhadap kontrol dan komunikasi pada binatang dan mesin. Stafford Beer menyebutnya sebagai ilmu organisasi efektif dan Gordon Pask memperluasnya dengan mencakup aliran informasi "pada semua media"dari bintang hingga otak. Hal ini termasuk studi tentang loloh balik, kotak hitam dan konsep-konsep turunannya seperti komunikasi dan teori kendali dalam kehidupan organisme, mesin dan organisasi termasuk organisasi mandiri.
Sibernetika berfokus kepada bagaimana sesuatu itu (digital, mekanik, atau biologis) memproses informasi, bereaksi terhadap informasi, dan berubah atau dapat diubah agar dapat mencapai dua tugas pertama dengan lebih baik.[2] Definisi yang lebih filosofis, disarankan pada tahun 1956 oleh Louis Couffignal, salah seorang pelopor sibernetika, mengkarakterisasi sibernetika sebagai "seni untuk memastikan keberhasilan tindakan."[3] Definisi terkini disampaikan oleh Louis Kauffman, Presiden dari American Society for Cybernetics, "Sibernetika adalah sebuah studi dari sistem dan proses yang berinteraksi dengan diri mereka sendiri dan memproduksi diri mereka dari diri mereka sendiri."[4]
Konsep yang dipelajari oleh para sibernetikawan termasuk, tetapi tidak terbatas kepada: belajar, kognisi, adaptasi, kendali sosial, emergence, komunikasi, efisiensi, efficacy dan interkonentivitas. Konsep-konsep tersebut dipelajari pula pada bidang studi lain seperti teknik dan biologi, tetapi dalam sibernetika konsep tersebut dihapus dari konteks organisme atau peralatan individual.
Tradisi sibernetika dimengerti sebagai sebuah teori yang mempelajari sebuah hubungan timbale balik. Ada dua pendekatan untuk teori sibernetika yang sudah dikenal dalam subab pelaku komunikasi. Pertama, information-integration atau satu kelompok teori yang menggabungkan beragam informasi. Kedua, consistency theories atau umumnya disebut sebagai teori konsistensi.
Teori Penggabungan Informasi.
Sesuai judul dari teori ini, pelaku komunikasi lebih fokus pada bagaimana mereka mengakumulasikan dan mengatur informasi tentang semua orang, objek, situasi, dan gagasan yang membentuk sikap. Atau, dapat pula diartikan sebagai kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang positif atau negatif terhadap beberapa objek. Jadi, teori ini secara sederhana menjelaskan bagaimana pembentukan informasi dan perubahan sikap.
Terdapat dua variabel yang memiliki peranan penting dalam memengaruhi sebuah sikap. Yakni, valence atau arahan dan bobot. Untuk yang pertama, dilihat apakah informasi dapat memberikan dukungan atau sebaliknya sebuah sangkalan terhadaqp keyakinan pelaku komunikasi. Dikatakan positif, jika informasi tersebut dapat mendukung individu. Sebaliknya dikatakan negatif bila informasi itu menyangkal keyakinan. Sedangkan variabel bobot menitik beratkan pada kegunaan sebuah informasi dan terkiat erat dengan kredibilitas. Informasi berbobot tinggi jika informasi yang diterima pelaku komunikasi dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dan informasi akan berbobot rendah bila dipandang memiliki nilai kebenaran yang minim.
Semakin tinggi bobot informasi maka semakin besar pula dampaknya terhadap keyakinan seorang individu penerima informasi. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa valence menunjukkan “bagaimana” informasi memengaruhi sistem keyakinan seseorang, sedangkan bobot menggambarkan seberapa banyak  pengaruh itu bekerja. Dua variabel di atas dapat digabungkan, yang pada ujungnya dapat memengaruhi keyakinan seseorang. Peluasan teori ini pun kemudian diperkenalkan  menjadi dua teori, yaitu teori nilai ekspektasi dan teori tindakan yang beralasan. Perluasan teorii itu didasarkan pada ide dasar dibalik teori penggabungan informasi yang bergantung pada keseimbangan keyakinan, valence dan kredibilitas.
Teori nilai ekspektasi. Teori ini diperkalkan oleh Martin Fishbein.  Ia menyoroti sifat kompleks dari perilaku yang diketahui sebagai teori nilai ekspektasi (expectrancy-value theory), yang dibagi menjadi dua macam keyakinan: “yakin pada” satu hal dan yang kedua “yakin tentang”.  Perbedaanya terletak pada menyakini sesuatu  dan yang lainnya mengenai perasaan seorang individu pada kemungkinan bahwa hubungan tertentu ada di antara dua hal. Kalau seorang individu menyakini sesuatu itu ada, ia akan mengatakan bahwa hal itu ada. Sedangkan keyakinan mengenai “tentang” adalah berbicara menganai manfaat informasi terhadap keyakinan seseorang.
Dari segi evaluatif, Fishbein membedakan antara keyakinan dan sikap. Dikatakannya, sikap berhubungan dengan keyakinan dan membuat seseorang berprilaku dengan cara tertentu terhadap sikap objek. Sikap juga diatur, sehingga sikap umum diperkirakan dari cara spesifik dalam sesuatu yang ringkas.  Secara ringkat, Fishbein ingin mengatakan, perubaha sikap dapat berasal dari tiga sumber. Pertama, informasi dapat mengubah kemampuan untuk meyakini atau bobot terhadap keyakinan terentu. Kedua, informasi juga dapat mengubah valence dari sebuah keyakinan. Ketiga, informasi dapat menambah keyakinan yang baru terhadap struktur sikap.
Fishbein lantas menyajikan hubungan antara keyakinan dan sikap dengan rumus:
A0 = ∑ni (Bi  ai)
A0   = sikap terhadap objek o
Bi     = kekuatan keyakinan i tentang  o ( mungkin atau tidak mungkin bahwa o  diasosiasikan dengan konsep lain x)
ai    = aspek evaluative terhadap B (evaluasi dari konsep x)
n    = jumlah kepercayaan tentang o
Teori tindakan yang beralasan.  Bersama Icek Ajzen, Fishbein memperluas cakupan dari teori ekspektasi dengan menambahkan faktor intense dalam rumus. Secara specifik, intens dari perilaku tertentu ditentukan oleh sikap individu terhadap perilaku dan kumpulan keyakinan tentang bagaimana orang lain ingin seseorang berperilaku. Setiap faktor—sikap seorang individu dan opini orang lain—diberi bobot menurut kepentingannya. Sering kali terlihat sikap diri sendiri yang paling penting, terkadang opini orang lain yang paling penting, atau kadang-kadang sikap diri sendiri dan orang lain lebih atau kurang setra dalam bobotnya. Untuk menjelaskan hal ini, formula yang dikembangkan adalah:
BI = ABω1  + (SN) ω2
BI        = intense perilaku
AB        = sikap terhadap perilaku
SN       = norma subjektif (apa pikiran orang lain)
ω1           = bobot sikap
ω2        = bobot normal subjektif
Formula di atas memprediksikan intense dari perilaku seseorang, tetapi tidak secara utuh memperkirakan perilaku sebenarnya. Mengapa? Karena kita tidak selalu berperilaku berdasarkan intense orang lain. Sebab, manusia dikenal sulit untuk melawan maksud baik mereka sendiri. Jelaslah, teori penggabungan informasi berhubungan dengan sistem faktor. Yang jelas, apa yang dipikirkan seseorang tentang isu dan bagaimana ia berprilaku, dihasilkan dari sebuah interaksi kompleks di antara variabel.
Teori Konsistensi 
Semua teori konsistensi dimulai dengan dasar pikiran yang sama: orang lebih nyaman dengan konsistensi daripada inkonsistensi. Konsistensi merupakan prinsip utama dalam proses kognitif dan perubahan sikap yang dapat dihasilakn dari informasi yang mengacaukan keseimbangan. Dalam kajian sibernetika, manusia mencarai homeostasis atau keseimabngan dan sistem kognitif sebagai sebuah alat utama untuk mencapai keseimbangan. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam terori konsistensi ini. Pertama, teori yang diperkenalkan oleh Leon Festinger, yakni teori disonansi kognitif (cognitive dissonance). Kedua, karya Austin Babrow, yang dianggap sebagai teori terkini mengenai penggabungan problematis.
Teori disonansi kognitif. Teori ini merupakan salah satu paling popular dalam sejarah psikologi sosial. Gagasan Festinger dimulai dari pengamatan mengenai pelaku komunikasi yang memiliki ragam elemen kognitif. Seperti, sikap, persepsi, pengetahuan, dan perilaku. Elemen-elemen ini tidak terpisahkan, tetapi saling menghubungkan satu dengan lain dalam sebuah sistem. Juga, setiap elemen dari sistem tersebut akan memiliki satu dari tiga macam hubungan dengan setiap elemen dari sistem lainnya. Jenis hubungan yang pertama adalah kosong atau ‘tidak berhubungan’. Artinya tidak ada elemen yang benar-benar memengaruhi elemn yang lain. Jenis hubungan yang kedua adalah cocok atau ‘sesuai’, yakni satu elemen yang saling menguatkan. Ketiga adalah jenis hubungan yang tidak cocok alias ‘disonansi’, dimana ketidaksesuaian terjadi ketika salah satu elemen tidak dapat diharapkan untuk mengikuti yang lainnya. Pertanyaan kritisnya adalah apa yang sesuai atau tidak sesuai untuk seseorang bia saja tidak terjadi pada orang lain.
Disonansi merupakan sebuah hasil dari dua variabel lain—pentingnya elemen kognitif dan jumlah elemen yang terlibat  dalam hubungan yang tidak sesuai. Dengan kata lain: jika seseorang memiliki beberapa hal penting yang tidak sesuai, maka ia akan mengalami disonansi yang lebih besar. Festinger memperkenalkan beberapa metode untuk menghadapi disonansi kognitif. Pertama, seseorang dapat mengubah salah satu atau beberapa elemen kognitif. Kedua, elemen-elemen baru dapat ditambahkan pada salah satu sisi tekanan atau pada sisi yang lain. Ketiga, individu mungkin dapat melihat bahwa elemen-elemen yang tidak sesuai sebenarnya tidak sepenting biasanya. Keempat, orang dapat melihat informasi yang sesuai. Kelima, orang dapat mengurangi disonansidengan mengubah atau menafsirkan informasi yang ada dengan cara yang berbeda. Pada akhirnya, metode apa yang dipilih, akan dapat membantu mengurangi disonansi serta membuat seseorang merasa lebih baik mengenai sikap, keyakinan dan tindakan-tindakan seseorang.
Jumlah disonansi yang dialami sebagai hasil sebuah keputusan bergantung pada empat variabel. Pertama, kepentingan keputusan. Kedua, ketertarikan pada alternatif yang dipilih. Ketiga, semakin besar ketertarikan yang dirasakan dari alternative yang tidak dipilih, semakin besar disonansi yang aka nada rasakan. Keempat, semakin besar tingkat kesamaan atau kecocokan antara alternatifnya, makin kecil disonansinya. Kemungkinan disonansi lain yang bisa saja terjadi adalah keterpaksaan atau diperintahkan untuk melakukan atau mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan atau niali-nilai seseorang. Teori disonansi juga mengatakan, semakin kecil tekanan untuk menyesuaikan diri, semakin besar disonansinya. Dalam kaitan ini dapat dijelaskan pula bahwa semakin kecil pembenaran eksternal (seperti hadiah atau hukuman) yang digunakan, seseorang harus semakin fokus pada ketidaksesuaian internal dalam dirinya.
Teori disonansi juga menyatakan, semakin sulit permulaan seseorang masuk ke dalam sebua kelompok, semakin besar komitmen terhadap kelompok tersebut. Penjelasan lain mengenai teori disonansi berhubungan dengan jumlah dukungan sosial yang diterima untuk sebuah keputusan.  Artinya, semakin banyak dukungan sosial yang diterima seseorang dari teman-temannya mengenai sebuah gagasan atau tindakan, semakin besar tekanan untu percaya pada gagasan atau tindakan tersebut. Akhirnya teori disonansi juga menyatakan perilaku berdasarkan kesulitan tugas.  Semakin besar jumlah upaya yang dikerahkan seseorang dalam suatu tugas, orang tersebut akan semakin merasionalkan nilai tugas tersebut.
Teori penggabungan masalah. Teori ini dikembangkan oleh Austin Babrow, yang menurutnya pikiran digolongkan oleh susunan sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang bergerak ke arah meningkatnya kesesuaian. Dalam istilah Babrow untuk menjelaskan fenomena ini dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi adalah penggabungan masalah (problematic integration). Teori ini didasarkan pada tiga dalil: Pertama, seseorang memiliki kecenderungan alami untuk menyejajarkan harapan-harapan (apa yang dipikirkan seseorang akan terjadi) dan penilaian-penilain (apa yang diinginkan seseorang bakal terjadi). Kedua, menggabungkan harapan dan penilaian. Ketiga, penggabungan masalah berakar dari komunikasi dan diatur melalui komunikasi. Dalil pertama, menurut Babrow, dapat menghasilkan tekanan ketika apa yang diinginkan seseorang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Itu artinya, orang akan lebih merasa nyaman ketika ia menyukai hal-hal yang dirasa dapat dimiliki dan cenderung mengharapkan hal-hal yang disukainya.
Dalil kedua adalah bahwa penggabungan harapan dan penilaian sring kali menjadi masalah. Dalam konteks ini Babrow mengidentifikasi empat kondisi problematic. Petama adalah ‘perbedaan’ (divergence) atara sebuah arapan dan sebuah penilaian. Kondisi penggabungan masalah yang kedua adalah abiguitas atau kurangnya penjelasan mengenai apa yang diharapkan. Kondisi ketiga adalah ‘dua perasaan yang bertentangan’ (ambivalence) atau penilaian yang bertentangan. Dan terakhir dari penggabungan masalah terjadi ketika peluang terjadinya sesuatu sebenarnya tidak mungkin. Ini menarik, karena menilai sesuatu yang kita tahu tidak pernah dapat kita raih dapat menjadi sumber keajaiban, misteri dan inspirasi. Banyak anggapan yang mengatakan penggabungan masalah merupakan sesuatu yang kurang penting dan tidak logis. Tetapi semakin penting penilaian  dan harapan dalam sebuah sistem kognitif, semakin besar penggabungan masalahnya. Dengan kata lain, semakin banyak yang dipertaruhkan seseorang, semakin banyak yang mengalami penggabungan masalah.
Dalil ketiga teori ini adalah bahwa penggabungan masalah memerlukan komunikasi karena kita mengalami penggabungan masalah melalui komunikasi. Pada ujungnya, komunikasi dianggap sebagai sebuah cara untuk memecah atau mengatur penggabungan masalah. Kita dapat menggunakan komunikasi untuk menuruh orang lain melakukan sesuatu dengan cara berbeda. Namun, di saat penggabungan masalah diakibatkan oleh ambiguitas atau keadaaan bertentangan, seseorang dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengklarifikasi dan memperoleh resolusi atau penggabungan yang lebih besar dengan cara itu. Seseorang dapat mencari informasi untuk mengubah bagian-bagian lain dari sistem kognitifnya, sehingga harapan dan penilaian dapat lebih mudah digabungkan.
Pada akhirnya, teori penggabungan masalah menjadi salah satu dari banyak teori yang membantu kita memahami cara-cara pelaku komunikasi berpikir. Serta bisa memahami bagaimana mereka menggabungkan dan menyusun informasi yang memengaruhi sikap, keyakinan dan nilai serta perilaku. Baik teori sibernetika pelaku komunikasi maupun sosiopsikologi sering saling berbagi karena keduanya terfokus pada sistem kognitif individu. Dimana, hal itu terangkai dari sebuah susunan keyakinan, sikap, serta nilai yang kompleks serta saling berinteraksi yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku. Sebagai teori mengenai pelaku komunikasi, tradisi sibernetika maupun sosiopsikologi bergabung sebab keduanya  berasal dari berbagai penelitian mengenai psikologi sosial dan keduanya menggunakan metode penelitian yang berfokus pada prediksi perilaku individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar